Majalahglobal.com, Mojokerto – Sidang putusan terdakwa kasus pembunuhan siswi SMPN 1 Kemlagi Kabupaten Mojokerto yaitu AA, berakhir ricuh, Jumat (14/7/2023) di Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto.
Pembacaan putusan yang dibacakan hakim tunggal BM Cintia Buana dipandang tidak adil bagi keluarga korban.
Sidang yang berlangsung secara daring serta dihadiri oleh keluarga korban berikut kerabatnya, terdakwa AA, penasehat hukum terdakwa serta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ismirandah Dwi Putri ini ada aksi gebrak meja dan umpatan.
Kericuhan bermula saat hakim tunggal selesai membacakan vonis terdakwa. Hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara 7 tahun 4 bulan serta hukuman mengikuti pelatihan kerja selama 3 bulan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Blitar.
“Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa berupa pidana penjara 7 tahun 4 bulan dan pelatihan kerja 3 bulan di LPKA Blitar,” jelas hakim tunggal Cintia.
Begitu mendengar vonis tersebut, orang tua korban maupun kerabatnya merasa keberatan.
“Mana ada keadilan. Kami minta hukuman maksimal. Bayangkan saja kalau kasus ini terjadi pada keluarga Anda, pak,” jelas salah satu kerabat korban.
Tak hanya berteriak, massa dari keluarga korban bahkan menggebrak meja tanda tidak puasnya mereka atas putusan hakim. Berulang kali massa meminta hakim mengubah putusan.
“Kami minta hakim mengubah putusan. Putusan hari ini tidak adil,” tambah salah satu massa yang hadir.
Bahkan, IY, ibu korban berteriak histeris. Menurutnya vonis dari hakim tunggal tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya.
“Ya Allah, tidak ada keadilan. Ya Allah,” teriak IY sambil menangis histeris.
Kapolres Mojokerto Kota AKBP Wiwit Adisatria
Kericuhan yang berlangsung sekitar 25 menit ini berangsur reda saat Kapolres Mojokerto Kota AKBP Wiwit Adisatria mendatangi ruang sidang. AKBP Wiwit memecah kerumunan warga yang sedang beradu mulut dengan hakim tunggal.
“Siapa ini yang bikin ribut? Saya yang nangkap. Ayo, keluar dulu,” tandas AKBP Wiwit kepada salah satu pengunjung sidang.
Tak hanya itu, AKBP Wiwit juga tegas menyuruh siapa saja yang tidak berkepentingan untuk keluar dari ruang sidang.
“Yang tidak berkepentingan, keluar. Atau saya sendiri yang menangkap kamu semua nanti,” tegas AKBP Wiwit.
Kapolres Mojokerto Kota AKBP Wiwit Adisatria
Selain itu, AKBP Wiwit menambahkan agar pengunjung tidak melakukan upaya intervensi hukum. Bahkan, AKBP Wiwit sempat berdebat dengan orang tua korban, AU.
“Saya yang menangkap, saya perhatian sama anak saudara. Makanya saya ungkap,” kata AKBP Wiwit kepada AU.
Kapolres Mojokerto Kota AKBP Wiwit Adisatria
Meski demikian, tidak ada pengunjung sidang yang diamankan oleh Polres Mojokerto Kota. AKBP Wiwit mengaku pihaknya masih mendalami keributan yang terjadi.
“Masih didalami. Tapi sampai saat ini belum mengamankan. Nanti kami koordinasi dengan pihak PN Mojokerto,” tandas AKBP Wiwit.
Tak puas dengan keputusan hakim tunggal BM Cintia Buana terhadap terdakwa pembunuhan siswi SMP di Kemlagi, Kabupaten Mojokerto AA (15), Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaaan Negeri (Kejari) Kota Mojokerto, Ismiranda Dwi Putri akan mengajukan banding.
Ketika dikonfirmasi, Kasipidum Kejari Kota Mojokerto, Nurdhina Hakim menerangkan, pihaknya mendakwa dengan pasal 80 ayat (3) juncto 76 C Uu perlindungan anak no 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, pasal 340 KUHP, pasal 338 KUHP dan pasal 365 KUHP.
“Oleh karena pelakunya anak dan korban juga anak, sesuai dengan pasal 63 ayat (2) KUHP yakni jika hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Ini sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex generali,” jelas Kasipidum.
Lebih lanjut, Nurdhina menyampaikan, dalam kasus tersebut ada undang-undang khusus yang mengatur. Yaitu, undang-undang perlindungan anak, Undang-undang no 35 th 2014 yang mengatur mengenai perlindungan anak. Dimana korban masih berusia anak.
“Sehingga yang kami gunakan adalah pasal 80 ayat 3 jo 76 c undang-undang perlindungan anak, dimana ancaman maksimalnya adalah 15 tahun penjara. Berdasarkan pasal 81 ayat (2) uu 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak disebutkan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan pada anak maksimal adalah 1/2 dari ancaman pidana terhadap orang dewasa,” terang Kasipidum.
Menurutnya, sesuai dengan pasal 80 ayat 3 jo 76 c undang-undang perlindungan anak yang makna maksimal hukumannya adalah 15 tahun, maka jika 1/2 nya adalah 7 th 6 bulan dan pidana pelatihan kerja 6 bulan.
“Maka yang kami ajukan sebagai tuntutan itu sudah hukuman maksimal dalam undang-undang perlindungan anak. Namun, karena putusan hakim tidak sesuai dengan tuntutan kami, yaitu putusannya hanya 7 tahun 4 bulan dan latihan kerja 3 bulan, tentunya kami akan mengajukan banding. Ini juga sesuai dengan keinginan keluarga korban yang tidak terima dengan putusan hakim,” tandas Kasipidum. (Jay)