Keberpihakan Rezim Dan Matinya Demokrasi

Keberpihakan Rezim Dan Matinya Demokrasi
Keberpihakan Rezim Dan Matinya Demokrasi

Malang, majalahglobal.com – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut presiden boleh melakukan kampanye dan memihak saat pemilu, menjadi bola panas yang terus menggelinding.

Pernyataan tersebut menimbulkan berbagai spekulasi terhadap indikasi ketidaknetralan pejabat publik yang akan mencederai hasil pemilu 2024 mendatang.

Apalagi jika dikaitkan dengan status anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka yang menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo Subianto.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan secara terbuka bahwa ia sebagai presiden dapat melakukan kampanye. Padahal jelas sesuai aturan hukum dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yang dimaksudkan aturan dalam Pasal 299, presiden dan wakil presiden dapat berkampanye, dikaitkan dengan aturan dalam Pasal 301 bahwa presiden dan wakil presiden bisa berkampanye dalam hal maju lagi sebagai capres dan/atau cawapres untuk periode kedua, sesuai aturan dalam konstitusi.

Presiden hanya boleh memihak dalam kapasitas pribadi pada saat di tempat pemungutan suara (TPS) di hari pencoblosan. Karena itu, pernyataan Jokowi dapat membahayakan sendi- sendi demokrasi dan konstitusi di Indonesia.

Baca Juga :  Upacara Bendera, Danramil 0815/03 Berikan Motivasi Pelajar SMKN 1 Sooko

Jika Presiden Jokowi menunjukkan sikap terang-terangan dengan pernyataan keberpihakannya, jelas semakin membuktikan, nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan negara
sedang bekerja untuk memenangkan salah satu paslon.

Selain sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tertinggi, presiden juga sebagai panglima tertinggi. Maka, posisinya dapat menyeret alat-alat kekuasaan negara menjadi tidak netral. Sebagai akibat keberpihakan politik presiden.

Maka sangat mungkin kebijakan atau program- program pemerintahan seperti bansos dan, penggunaan fasilitas negara atau pengaruh jabatannya sebagai presiden, diarahkan untuk pemenangan salah satu Paslon.

Pernyataan dukungan Menko Marves Luhut Pandjaitan kepada Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Gibran Rakabuming Raka, sudah cukup menunjukkan dengan jelas bahwa rezim hari ini jelas tidak tunduk pada Undang-undang, yang tentunya secara nyata melawan Konstitusi.

“Presiden Jokowi harus menarik pernyataan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak, karena ini akan berpotensi menjadi alasan pembenar untuk pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan politik di dalam penyelenggaraan pemilu, dan berpotensi membuat proses penyelenggaraan pemilu penuh dengan kecurangan, tidak fair dan tidak demokratis,” Kata Rolis Sembiring Ketua DPC GMNI Malang Raya, Minggu (04/02/2024).

Baca Juga :  KMD, Pramuka Bisa Cetak Generasi Berkualitas Tanamkan Kebangsaan

Sikap totalitarian Pemerintah hari ini tentu berakibat pada matinya demokrasi di Indonesia.

Pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi. Kita dapat melihat bahwa ketiga hal tersebut adalah fenomena yang terjadi.

“Saya khawatir jika hal ini terus berlanjut, dapat mengancam stabilitas nasional,” ujar Ketua DPC GMNI Malang Raya tersebut.(Egi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *