mahkota555

Sengketa Waris Berujung Petaka

Sengketa Waris Berujung Petaka
H. Rifan Hanum, S.H., M.H.
Oleh: H. RIF’AN HANUM., S.H., M.H.

Ada istilah Hidup Miskin Susah Hidup Penuh Harta jadi Musibah, istilah tersebut sangatlah ironi dalam kehidupan Kita.

Mengumpulkan harta benda dengan kerja siang malam tanpa mengenal lelah, usaha sampingan dijalani, menjadi makelar-makelar (perantara)-pun dilakukan dengan tujuan agar keluarganya bisa terjamin kehidupannya kelak.

Namun tidak sedikit permasalahan timbul akibat beda paham, tidak saling percaya, bermusuhan, merasa tidak adil atau bahkan mau menang sendiri dalam hal pengurusan hak waris para ahli waris.

Tulisan ini membahas khusus tentang bagaimana jika salah satu ahli waris tidak bersedia harta peninggalan pewaris dibagi kepada ahli waris, bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh sebagai ahli waris yang ingin membagi bagian warisan dari pewaris.

Secara umum ahli waris yang tidak ingin membagi (memecah) harta warisan, beralasan itu merupakan harta peninggalan satu-satunya yang berharga dari orang tuanya, jangan sampai sejarahnya terputus (dilupakan), atau terkadang beralasan tidak etis bahkan tidak pantas.

Maka seringkali menunda-nunda pembagian warisan secara adil yang berujung kepada semakin banyaknya orang lain yang ikut-ikutan mempengaruhi jalan pikiran para ahli waris (kedatangan menantu).

Pertengkaran yang seakan tidak berujung, konflik-konflik yang sangat mungkin terjadi ketika sampai pada keturunan ke generasi ke 2 sampai seterusnya.

Ada banyak sekali kasus atau sengketa waris yang bisa dijadikan pelajaran dalam tulisan ini, salah satunya adalah gugatan anak kandung kepada ayahnya dikarenakan si ayah telah menikah lagi.

Nofiandari Safira (Anak) mengajukan gugatan waris ke Pengadilan Agama Situbondo pada 31 Januari 2023 silam kepada Bambang Purwadi (Ayah), dengan pokok perkaranya adalah si Anak khawatir jika nanti harta bersama antara Ayah Kandung dengan Ibu Kandung (Alm), jatuh ketangan Istri Siri sang Ayah.

Tentunya perkara ini sangat ironis atau mungkin juga tidak memahami prinsip dalam hukum waris.

Apalagi dalam salah satu petitumnya (yang dimohonkan kepada Majelis Hakim), yaitu memerintahkan Tergugat (Ayah) untuk mengosongkan rumahnya selama proses persidangan berlangsung (dalam status quo).

Adapula sengketa waris yang sampai ke generasi ke 2 dari Pewaris yaitu cucu belum juga dibagi, dengan menunda-nunda pembagian harta warisan tentunya akan berpotensi menimbulkan perkara-perkara baru yang sama sekali tidak ada hubungannya secara langsung dengan permasalahan waris, potensi menjadi permusuhan turun-temurun yang tak kunjung usai.

Jika kisaran tahun 1980 – 1990 an harga tanah sangatlah murah, beda dengan saat ini semenjak tanah-tanah dijadikan kavlingan, terbatasnya lahan permukiman, jalan-jalan diperbaiki, akses ke pusat keramaian dipermudah maka semakin meningkatkan harga tanah berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali lipat.

Hal ini pula yang menyebabkan ahli waris memperebutkan harta warisan semakin banyak motifnya.

HUKUM MENUNDA PEMBAGIAN WARISAN

Dalam aturan Hukum Perdata maupun Hukum Waris Islam memang tidak disebutkan kapan waktu yang tepat untuk membagi warisan, apakah setelah 7 hari, 40 hari, atau 100 hari setelah kematian.

Namun bukan berarti boleh berlama-lama menunda pembagiannya. Hal ini dikarenakan dalam harta warisan itu ada hak-hak ahli waris lainnya, yang seharusnya bisa disegerakan untuk dapat dimanfaatkan maupun bisa segera dinikmati untuk kehidupannya.

Kecuali jika sebagian ahli waris memang belum cukup umur untuk mengelola harta warisan, maka biasanya akan ditunda sampai ia dapat melaksanakan kewajiban maupun menerima haknya di muka hukum.

Orang tidak akan mendapatkan warisan, jika membunuh atau mencoba membunuh pewaris, memfitnah pewaris melakukan kejahatan yang diancam lima tahun penjara/lebih, menghalangi pewaris dengan kekerasan untuk membuat/menarik wasiat, menggelapkan memalsukan wasiat dari pewaris (838 KUHPerd jo 173 KHI).

Dalam Hukum Waris Islam yang bersumber dari Al Quran maupun Hadist Nabi SAW, bisa ditemukan rumusan tentang pembagian warisan di Surat An Nisa’ Ayat 11 dan 12, yang menerangkan harta warisan menjadi sah menjadi hak ahli waris setelah ditunaikannya wasiat dan hutang si pewaris.

Biaya pengobatan maupun pengurusan jenazah.

Bahwa membagi warisan merupakan perintah langsung dari Allah SWT maupun Sunnah Nabi SAW.

Pura-pura tidak tahu, bahwa harta peninggalan almarhum/almarhumah merupakan milik semua ahli waris yang berhak menerima.

Pencerahan para tokoh agama (Ustadz dan Kiai) mengenai urgensi menyegerakan penyelesaian urusan waris ini perlu ditanamkan kepada masyarakat.

Lebih dari itu, mereka perlu mendapat pencerahan mengenai akibat hukum memakan harta yang bukan haknya kelak di akhirat.

Pembagian harta waris yang tertunda berpotensi terjadinya kezaliman akibat adanya sebagian keluarga yang secara sengaja atau tidak sengaja makan hak ahli waris yang lain.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a, Bersabda Nabi SAW “Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder) yaitu ayat-ayat muhkamat (yang jelas ketentuannya), Sunnah Nabi SAW yang dilaksanakan dan Ilmu Fara’idh”.

Dalam Hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda, Artinya: “Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari ummatku”.

Begitu pentingnya warisan menurut agama islam, diatur secara rinci dan sangat detail dalam beberapa ayat di Surah An Nisa’, namun jika jalan musyawarah maupun mediasi tidak bisa tercapai dengan baik dikarenakan sudah saling tidak percaya dan saling curiga maka beban keluarga tersebut akan sangat rugi dalam kehidupannya di dunia maupun diakhirat kelak.

Karena bagaimanapun jika permasalahan pembagian warisan sampai ke pengadilan maka kecil kemungkinan kehidupan anak keturunannya akan rukun sebagaimana yang diinginkan seluruh orang tua kepada anak-anaknya.

Karena saudara kandung itu “Tego lorone ora tego pathine”. (Tega sakitnya tidak tega kematiannya).

PUTUSNYA TALI PERSAUDARAAN AKIBAT HARTA WARIS

Kita tentunya sepakat jika harta yang kita kejar siang malam, pagi sore dari muda sampai tua.

Dari dulu waktu rambut masih hitam legam sampai sekarang beruban, dari gigi utuh kuat sampai menjadi gripis.

Dari punggung yang kuat mengangkat beban berat sampai sakit-sakitan jadi beban keluarga.

Terkumpullah uang milyaran, sekian mobil mewah, tanah berhektar-hektar, deretan penghargaan di pigora karena dulu waktu berdinas selalu mendapatkan prestasi yang bagus, nama besar di sosial masyarakat yang terkenal setiap tahun menyembelih sapi bahkan lebih dari satu.

Itu semuanya tiada artinya jika kita bermusuhan atau memutuskan tali silaturahmi khususnya dengan saudara sekandung kita. (Jika dengan orang lain saja kita tidak boleh memutuskan tali silaturahmi apalagi dengan saudara kita yang sedarah dan sedaging).

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (An Nisa’ Ayat 1)

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”. (Ar Ra’d Ayat 25)

Semoga kita beserta keluarga kita selalu mendapatkan jalan yang terbaik untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi.

*Penulis merupakan pendiri Kantor Firma Hukum H. Rif’an Hanum dan Nawacita. Saat ini sedang menyelesaikan Studi Doktor Ilmu Hukum di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *