Diduga Peras Rp.400 Juta – Rp.500 Juta, Penyidik Polda Jatim Dilaporkan

Surabaya – majalahglobal.com : Oknum Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jatim dilaporkan ke Bidang Propam Polda Jatim lantaran diduga melakukan pemerasan kepada calon tersangka kasus duagaan pelanggaran Undang-undang (UU) ITE tentang jual beli online.

“Kami datang ke sini untuk melapor ke Bid Propam terkait penanganan terhadap beberapa anak dari klien kami, karena mulai dari proses penangkapan sampai pemeriksaan dan penahanan itu dilakukan dengan tidak sesuai prosedur,” kata Yuyun Pramesti, kuasa hukum dari orangtua tersangka kepada wartawan di Mapolda Jatim, Jalan A Yani, Surabaya, Selasa (5/11/2019).

Yuyun tiba bersama tim kuasa hukum lainnya yaitu Aulia Rachman dan Imam Asmara Hakim. Ketiga kuasa hukum ini mendampingi keluarga tersangka untuk melapor ke Bid Propam Polda Jatim.

Keluarga tersangka yang melaporkan ke Bid Propram itu adalah Peter Tedjakusuma orangtua dari tersangka Max Vixel. Tandjong Widjojo ayah dari tersangka Michael Candra. Tjeng Stephanie, ibu dari tersangka Kenno dan Rosa Agustina ibu kandung dari tersangka Hansei. Masing-masing tersangka sudah ditahan oleh Penyidik Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim.

Kata Yuyun, sejak awal proses penangkapan anak-anak dari kliennya, Penyidik Siber Ditreskrimsus Polda Jatim diduga telah mengabaikan dan diduga tidak memberikan hak-hak dari para tersangka.

Pasal-pasal yang dituduhkan kepada para tersangka yaitu Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008, dimana ancaman hukumannya adalah pinda penjara paling lama 12 tahun.

“Hak dari tersangka untuk didampingi penasihat hukum dan kewajiban negara untuk menyediakan seorang penasihat hukum apabila tidak mampu,” tegasnya.

Tapi sejak awal, lanjut Yuyun, tersangka tidak pernah mendapat tawaran untuk mendapatkan pendampingan dari penasihat hukum.

“Bahkan, kemudian hari diperiksa sebagai tersangka, dipaksa untuk menandatangani sebuah pernyataan, di mana mereka menolak untuk didampingi oleh penasihat hukum. Sekali lagi, anak-anak dari klien kami dipaksa untuk menandatangani itu dengan berbagai macam pernyataan yang bersifat intimidasi,” tandasnya.

Menurut Yuyun, kejanggalan lainnya yaitu, dalam salah satu perubahan dari UU ITE yang menegaskan untuk Pasal 27 ayat (3) adalah sebagai delik aduan. Di mana dalam peristiwa pelanggaran terhadap UU ITE, diwajibkan adanya seorang pengadu atau pelapor.

Berdasarkan surat penangkapan, surat ketetapan peralihan status dari saksi menjadi tersangka dan surat perintah penahanan dalam kolom dasar tercantum keterangan perihal ‘Laporan Polisi Nomor: LPA/93/X/2019/SUS/JATIM, tanggal 15 Oktober 2019’.

“Laporan polisi yang digunakan oleh Penyidik Subdit V Ditreskrimsus Polda Jatim untuk menahan anak-anak klien kami adalah Laporan Model A yang menunjuk pada hasil temuan polisi, bukan laporan dari seseorang atau sebuah pihak yang dirugikan,” tegasnya.

“Penerapan UU ITE dalam Laporan Model A dalam hal ini adalah sebuah perbuatan yang sangat prematur, mengingat tidak adanya laporan polisi dari pihak yang dirugikan,” pungkasnya.

Yuyun menambahkan, Penyidik Subdit V Siber Ditreskrimsus juga menerapkan standar ganda. Katanya, pada awal penangkapan oleh penyidik, telah ditangkap beberapa orang. Informasi yang diterima tim kuasa hukum, ada 9 orang yang ditangkap. Akan tetapi, dengan kapasitas yang sama dengan para tersangka.

Dari penangkapan itu, lanjut Yuyun, penyidik diduga membebaskan dua orang berkapasitas sama dengan para tersangka. Sedangkan tujuh orang lainnya (4 di antaranya anak dari klien) ditetapkan sebagai tersangka.

“Selain itu, pada saat anak-anak mereka ditangkap. Para pemberi kuasa yang menemui anak-anak mereka di Polda Jatim dan berusaha mencari tahu tentang masalah apa yang menimpa anaknya,” imbuh Yuyun.

“Tetapi klien kami telah mengalami hal-hal yang tidak patut yang berupa dialog-dilaog dari penyidik saudara inisial A dan penyidik inisial K, yang mengarahkan para klien kami untuk menyelesaikan perkaranya dengan memberikan ‘uang damai’ kepada pihak Penyidik Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim,” katanya.

Yuyun juga menilai ada unsur dugaan pemerasan terhadap orangtua para tersangka. Masing-masing dari orangtua tersangka, pada saat itu diminta uang damai sekitar Rp 400 jutaan hingga Rp 500 jutaan. Dan sebagian besar tersangka adalah pelajar atau mahasiswa, bahkan ada yang sedang mengurus skripsi.

“Ada yang Rp 500 jutaan ada yang Rp 400 jutaan per orang untuk supaya perkara ini tidak lanjut. Ini pernyataan dari orang-orang yang berdialog dengan penyidik,” jelasnya.

“Dan yang sangat kami sangat prihatin sekali, di sini ada penerapan standar ganda. Karena kurang lebih ada sembilan yang ditangkap dan diperiksa, ternyata dua yang dibebaskan dari tersangka dengan kapasitas yang sama. Ini menjadi tanda tanya besar bagi kami, kenapa bisa terjadi seperti itu,” tuturnya.

Apakah dua orang yang dilepaskan itu karena sudah membayar uang damai dengan menyetorkan uang ratusan juta rupiah per orang?.

“Kami tidak tahu. Cuman yang jelas, mereka sama tapi yang dua bebas,” ungkapnya.

Yuyun berharap, Bid Propam Polda Jatim memeriksa penyidik yang dianggapnya tidak bertindak profesional tersebut.

“Kami mohon Propam Polda Jatim untuk memeriksa Penyidik Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim,” harapnya.

Keluarga tersangka telah melaporkan ke Bid Propam Polda Jatim pada Selasa (5/11/2019) yang diterima oleh AKP Hari Suwarno. Jika laporan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Propam, maka pihaknya akan membawa kasus ini ke ranah hukum.

“Kalau ini diabaikan, ini menjadi preseden yang buruk, karena akhirnya semua orang berpendapat bahwa seperti ini penanganan terhadap orang-orang yang diperiksa di Polda Jatim,” tuturnya.

“Dan kalau memang secara internal Polda Jatim tidak bisa menindak anggotanya, terpaksa kami akan membawa ini ke ranah hukum,” bebernya. (Ricky)

Exit mobile version